Yang ada dari merayakan tahun baru adalah meniru gaya dan perayaan orang kafir. Karena perayaan semisal itu bukanlah perayaan Islam dan tidak kita temukan di masa wahyu itu turun. Para sahabat tak pernah merayakannya. Para tabi’in tak pernah merayakannnya. Para ulama madzhab pun tak pernah menganjurkannya. Perayaan tersebut yang ada hanyalah meniru perayaan orang kafir.
Sejarah Perayaan Tahun Baru
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak
lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia
memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah
diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini,
Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari
Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan
mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang
Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365
seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga
tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar
setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang
secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini.
Tidak lama sebelum Caesar terbunuh pada tahun 44 SM, dia mengubah nama
bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama
bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar
Augustus, menjadi bulan Agustus. (Sumber: Wikipedia)
Larangan Meniru Perayaan Orang Kafir
Kalau sudah dibuktikan kalau perayaan itu hanyalah tradisi orang
kafir, lalu kita dilarang tasyabbuh (meniru) tradisi mereka, maka
merayakannya pun tak perlu.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ
قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ
أُولَئِكَ »
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi
sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada
yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah
mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab,
“Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari no. 7319)
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ
سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ
حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ ». قُلْنَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ ».
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika
orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh
lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para
sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah
Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim
no. 2669)
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas
menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta)
serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah
permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan
tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam
kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran.
Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang
beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”(Syarh Shahih Muslim, 16:
220)
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami”
(HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan).
Ibnu Taimiyah dalam kitab lainnya berkata, “Sesungguhnya tasyabbuh
(meniru gaya) orang kafir secara lahiriyah mewariskan kecintaan dan
kesetiaan dalam batin. Begitu pula kecintaan dalam batin mewariskan
tasyabbuh secara lahiriyah. Hal ini sudah terbukti secara inderawi atau
eksperimen. Sampai-sampai jika ada dua orang yang dulunya berasal dari
kampung yang sama, kemudian bertemu lagi di negeri asing, pasti ada
kecintaan, kesetiaan dan saling berkasih sayang. Walau dulu di negerinya
sendiri tidak saling kenal atau saling terpisah.” (Iqtidha’ Ash
Shirothil Mustaqim, 1: 549).
Apakah masih mau terus tasyabbuh atau meniru-niru gaya orang kafir?
Kapan umat Islam punya jati diri? Kapan umat Islam mau menyatakan
dirinya berbeda.
Semoga bisa berpikir, hanyalah Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Selesai disusun di Hotel Ilyas Center di kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 6 Rabi’ul Awwal 1436 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
sumber :
Ustadz Muhammad Abdu Tuasikal
Rumaysho.com
Fatwa al-Imâm Ibnu Baz
Ditanya al-Imâm Ibnu Baz rahimahullâh :
”Apa arahan yang mulia tentang peringatan tahun baru dan apa pendapat anda tentangnya?”
Al-Imâm menjawab :
”Perayaan tahun baru adalah bid’ah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dan masuk ke dalam sabda Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
”Barangsiapa mengada-adakan sesuatu di dalam urusan (agama) ini yang tidak ada tuntunannya maka tertolak.” Muttafaq ’alaihi (disepakati keshahihannya) dari hadîts ’Â`isyah radhiyallâhu ’anhâ.
Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam juga bersabda :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
”Barangsiapa yang mengamalkan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka tertolak.” Dikeluarkan oleh Imâm Muslim di dalam Shahîh-nya.
Nabî ’alaihi ash-Sholâtu was Salâm juga bersabda di tengah khuthbah jum’at :
أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله, وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم, وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
”Amma Ba’du, Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitâbullâh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallâllâhu ’alaihi wa Sallâm. Seburuk-buruk suatu perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah itu sesat.” Dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahîh-nya.
An-Nasâ`î menambahkan di dalam riwayatnya dengan sanad yang shahîh
وكل ضلالة في النار
”Dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka.”
Maka
wajib bagi seluruh muslim baik pria maupun wanita untuk berhati-hati
dari segala bentuk bid’ah. Islâm dengan segala puji bagi Allôh telah
mencukupi segala hal dan telah sempurna. Allôh Ta’âlâ berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
”Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan aku sempurnakan nikmat-Ku serta Aku ridhai Islâm sebagai agama kalian.” (QS al-Mâ`idah :3)
Allôh
telah menyempurnakan bagi kita agama ini segala yang disyariatkan baik
berupa perintah maupun segala yang larangan dilarangnya. Manusia tidak
butuh sedikitpun kepada bid’ah yang diada-adakan oleh seorangpun, baik
itu bid’ah perayaan maupun selainnya.
Segala bentuk perayaan, baik itu perayaan kelahiran Nabî Shallâllâhu ’alahi wa Sallam, atau peringatan kelahiran (Abū Bakr) ash-Shiddiq, ’Umar, ’Utsmân, ’Alî, Hasan, Husain
atau Fâthimah, ataupun Badawî, Syaikh ’Abdul Qadîr Jailânî, atau Fulân
dan Fulânah, semuanya ini tidak ada asalnya, mungkar dan dilarang.
Semua perayaan ini masuk ke dalam sabda Nabî, ”setiap bid’ah itu
sesat”.
Untuk
itu tidak boleh bagi kaum muslimin untuk merayakan bid’ah ini walaupun
manusia mengamalkannya, karena perbuatan manusia itu bukanlah dasar
syariat bagi kaum muslimin dan tidak pula qudwah (teladan)
kecuali apabila selaras dengan syariat. Semua perbuatan dan keyakinan
manusia harus ditimbang dengan timbang syar’î yaitu Kitâbullâh dan
Sunnah Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam. Apabila selaras dengan keduanya maka diterima dan apabila menyelisihi ditolak, sebagaimana firman Allôh Ta’âlâ :
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
”Apabila kalian berbeda pendapat tentang sesuatu hal maka kembalikanlah kepada Allôh (Kitâbullâh) dan Rasūl (hadîts) apabila kalian beriman kepada Allôh dan hari akhir. Yang demikian ini adalah lebih baik akibatnya.”
Semoga Allôh memberikan taufiq dan petunjuk-Nya kepada semuanya ke jalan-Nya yang lurus.
[Fatâwâ Nūr ’alad Darb; kaset no.1]
Kesimpulan
Tidak
ragu lagi, dari ulasan singkat dan sederhana di atas, bahwa perayaan
Tahun Baru, maupun perayaan-perayaan lainnya yang tidak ada tuntunannya,
merupakan :
- Bid’ah di dalam agama setelah Allôh menyempurnakannya.
- Menyerupai orang kuffâr di dalam perayaan mereka.
- Turut menghidupkan syiar dan mengagungkan agama kaum kuffâr.
Allôhu a’lam bish Showâb.
Sumber artikel :
Sumber artikel :
abusalma.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar